Kisah Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam

Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar

1. Rahmat dan limpahan kebaikan Allah terhadap hamba-hamba-Nya, ada yang mengetahuinya adapula yang tidak. Sebagian dari akhlak para Nabi dan perbuatan yang ihsan adalah membantu memberi minum hewan ternak. Terutama terhadap mereka yang lemah. Hal ini ditunjukkan oleh perbuatan Nabi Musa bersama dua anak perempuan salah seorang penduduk Madyan, di mana beliau melihat keduanya tidak dapat memberi minum ternak mereka sebelum para penggembala lain menjauh dari sumur itu.

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyukai apabila ada hamba-Nya yang berdoa dengan bertawassul kepada-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta nikmat-Nya yang umum maupun yang khusus. Dia juga menyukai apabila orang yang bedoa itu bertawassul kepada-Nya dengan (menyebutkan) kelemahan, kefakiran serta ketidakmampuannya dalam mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan dari dirinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Musa dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ
“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashash: 24)


Karena sikap yang demikian menunjukkan kerendahan dan ketundukan seseorang dan kefakirannya kepada Allah, di mana sesungguhnya hal inilah hakekat penghambaan seseorang di hadapan-Nya.


3. Hidup dan imbalan atas suatu kebaikan sudah merupakan tradisi atau kebiasaan orang-orang yang shalih sejak dulu. Seorang manusia apabila dia beramal ikhlas karena Allah kemudian memperoleh suatu imbalan tanpa dia mengharapkannya, maka tidaklah dia tercela dan tidak pula menghapus keikhlasan dan pahalanya. Sebagaimana Nabi Musa menerima upah atas kebaikannya yang beliau sendiri tidak menginginkan atau mengharapkan imbalan atas pertolongannya itu.


4. Bolehnya memberi upah atas suatu pekerjaan yang telah diketahui manfaatnya atau sudah diketahui berapa lama batas waktunya. Patokannya adalah kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat. Bahkan boleh pula memberi upah sebagai imbalan memperoleh manfaat berupa pernikahan. Sebagaimana yang disebutkan oleh orang Madyan itu dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


إِنِّي أُرِيْدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ
“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini.” (Al-Qashash: 27)


Dari ayat ini dibolehkan seseorang menikahkan puterinya dengan seorang laki-laki bila dia adalah wali bagi perempuan tersebut dan hal itu bukanlah suatu cacat atau aib. Bahkan boleh jadi mengandung manfaat dan menunjukkan kemuliaan. Sebagaimana yang dilakukan orang tua yang shalih di Madyan itu dengan Nabi Musa ‘alaihissalam.


5. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengisahkan ucapan salah seorang perempuan itu kepada ayahnya:
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja pada kita ialah orang yang kuat lagi terpercaya.” (Al-Qashash: 26)


Dengan kedua sifat inilah sempurnanya suatu pekerjaan. Semua bentuk usaha baik perwalian, pelayan, perusahaan, atau pekerjaan yang membutuhkan pemeliharaan dan pengawasan terhadap para karyawan dan pekerjaan mereka, apabila kedua sifat ini yaitu kuat (kesanggupan) mengerjakannya sesuai dengan keadaan pekerjaan itu dan dapat dipercaya melaksanakannya, sempurnalah pekerjaan itu dan tercapailah hasil serta tujuan yang diharapkan. Sedangkan kesalahan dan kekurangan yang terjadi, sebabnya adalah karena ketiadaan kedua sifat ini pada diri seseorang atau salah satunya.


6. Termasuk akhlak yang mulia adalah memperbaiki sikap atau perilaku dengan semua yang berhubungan dengan kita. Apakah dia seorang pelayan, buruh, isteri, anak atau relasi atau yang lainnya. Di mana seseorang memberikan keringanan bagi seorang yang bekerja pada kita berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شآءَ اللهُ مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Aku tidak ingin memberatkan kamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang saleh.” (Al-Qashash: 27)


7. Dalam kisah ini, diterangkan bolehnya memberikan semangat kepada relasi atau pegawai dengan imbalan dan upah dengan menerangkan keadaan dirinya sebagai orang yang baik dalam bermu’amalah. Akan tetapi tentunya dengan syarat dia jujur dalam menyebutkan hal itu.


8. Bolehnya pula melakukan akad suatu mu’amalah persewaan atau yang lainnya tanpa menghadirkan saksi, karena adanya dalil dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


وَاللهُ عَلَى مَا تَقُوْلُ وَكِيْلٌ
“Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.” (Al-Qashash: 28)


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan adanya saksi akan memudahkan terjaganya hak-hak orang-orang yang bersangkutan, minimalnya (bila terjadi) persengketaan. Dan manusia dalam masalah ini bertingkat-tingkat, begitu pula hak mereka masing-masing.


9. Diterangkan di dalam kisah ini ayat-ayat (tanda kekuasaan) yang sangat jelas. Di mana dengan ayat-ayat itu Allah memperkuat kedudukan Nabi Musa. Seperti mengubah tongkatnya menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat, lalu mengembalikannya seperti semula. Juga ketika dia memasukkan tangannya ke leher bajunya lalu mengeluarkannya dalam keadaan putih bercahaya bagi orang-orang yang melihatnya, dan bukan karena penyakit.


Disebutkan pula betapa besar rahmat dan pembelaan Allah terhadap Nabi Musa dan Harun dari Fir’aun dan para pembesarnya. Dia membelah lautan ketika Musa memukulkan tongkatnya ke laut hingga terbelah menjadi dua belas jalan yang dilalui oleh Musa beserta para pengikutnya dengan selamat. Sedangkan Fir’aun dan pasukannya yang mencoba menyusul, akhirnya binasa.


Demikian seterusnya ayat-ayat dan bukti-bukti yang berturut-turut Allah tunjukkan bagi mereka yang melihat dan menyaksikan kejadian tersebut atau bagi mereka yang hanya mendengar (ketika dibacakan kepada mereka). Karena sesungguhnya sumber penukilannya adalah kitab-kitab samawi dan dinukil turun temurun, generasi demi generasi. Dan tidaklah ada yang mengingkari ayat-ayat seperti ini melainkan orang yang bodoh, sombong, dan zindiq. Seperti itu pula ayat-ayat yang ada pada Nabi yang lainnya.


10. Ayat-ayat yang ada pada para Nabi dan karamah para wali atau ayat-ayat yang Allah jadikan sebagai sesuatu yang menakjubkan; seperti perubahan sebab akibat atau terhalangnya sesuatu menjadi sebab bagi suatu akibat, atau diperlukannya suatu sebab yang lain bagi suatu akibat, atau adanya penghalang yang merintangi pengaruh sebab itu terhadap suatu akibat, adalah bukti yang nyata tentang wahdaniyyah Allah (keesaan Allah). Dia adalah Dzat Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Di mana tidak satupun persoalan besar maupun kecil yang lepas dari kodrat Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Mukjizat dan karamah serta perubahan-perubahan ini tidaklah meniadakan semua sebab inderawi dan aturan baku yang telah Allah berlakukan pada makhluk ini. Kita tidak akan mendapati adanya ganti dan perubahan terhadap Sunnatullah ini. Dan sesungguhnya Sunnatullah pada semua makhluk yang sudah terjadi ataupun yang akan terjadi itu, terbagi dua:


a. Yang merupakan perkara yang baru (apa yang berhubungan dengan makhluk), kejadian alam, ketetapan hukum syariat atau kodrati, atau yang berkaitan dengan pembalasan, tidaklah akan berubah dan berganti dari semua yang telah diketahui manusia sebab-sebabnya.


Bagian ini juga berada di bawah qadha dan qadar Allah. Dari sini kita mengetahui betapa sempurnanya hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala pada ciptaan dan hukum-hukum syariat-Nya. Dan siapa saja yang menempuh semua sebab akibat dengan cara yang benar akan mendapatkan buah dan hasil yang baik. Sebaliknya, siapa yang menempuhnya tidak dengan cara yang benar, niscaya tidak akan memperoleh hasil sebagaimana yang telah ditetapkan pada amalan itu menurut kodrat dan syariat.


Ini mendorong seorang manusia agar bersungguh-sungguh dalam menjalankan sebab-sebab yang berkaitan dalam masalah agama dan dunia yang berguna bagi mereka, dengan diiringi doa memohon pertolongan kepada Allah dan memuji-Nya agar memudahkan sebab-sebab itu dan semua perangkatnya.


b. Kejadian yang berasal dari mu’jizat para Nabi yang berita kejadiannya dinukil oleh setiap generasi, juga kemuliaan yang Allah berikan kepada para hamba-Nya dengan dikabulkannya doa mereka, dilepaskannya mereka dari kesulitan, memperoleh apa yang diharapkan dan dijauhkannya semua kemudaratan yang dia tidak mampu melenyapkannya. Juga gerbang Rabbani dan ilham ilahi serta cahaya yang Allah letakkan ke dalam makhluk-makhluk pilihan-Nya sehingga menambah keyakinan dan ketenangan jiwa mereka serta ilmu pengetahuan yang belum tentu dapat diperoleh dengan hanya mempelajarinya atau melakukan sebab-sebab lainnya.


Dan juga merupakan pertolongan yang diberikan-Nya kepada para Rasul serta para pengikut mereka, bahkan kehinaan yang ditimpakan-Nya terhadap musuh-musuh-Nya adalah juga perkara yang dapat disaksikan pada sebagian besar perjalanan masa.


Pada bagian kedua ini sama sekali tidak ada peranan makhluk untuk mengetahui sebab-sebab semua kejadian ini. Tidak pula mereka dapat membuat suatu patokan untuk sampai pada hakekat dan kenyataannya. Hanya saja perkara yang baru ini (berupa mu’jizat dan seterusnya), sesungguhnya Allah Yang Maha Agung Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu telah menaqdirkan semua sebab-sebab, hukum dan sunnah-sunnah (ketetapan) yang tidak mungkin dapat dipahami makhluk manapun. Tidak pula dapat ditangkap dan diperkirakan oleh panca indera mereka sehingga bisa memahami hakekat kejadian tersebut. Namun para Rasul dan para pengikut mereka sejak dari yang pertama sampai kepada yang terakhir beriman kepadanya.


Dengan perkara ini pula semakin jelaslah keagungan Allah Yang Maha Pencipta. Seluruh ubun-ubun hamba-hamba-Nya ada di tangan-Nya. Apa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti tidak akan terjadi. Dengan demikian jelas pula kebenaran semua ajaran yang dibawa oleh para Rasul tersebut, sebagaimana juga dari bagian pertama tadi kita dapat pula mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Tidak ada jalan bagi seorang hamba di dunia ini untuk memahami hakekat keadaan atau sifat Yaumil Akhir (hari kiamat), bahkan apa dan bagaimana hakekat al-jannah serta an-nar. Bahwa hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala itu mengetahui sebagian keadaan hari kiamat itu adalah dengan melalui apa yang telah diterangkan oleh para Rasul dan yang terdapat dalam Kitab-Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada jalan bagi penduduk bumi ini untuk sampai ke alam langit, dan tidak ada jalan bagi mereka untuk menghidupkan yang sudah mati, menciptakan ruh pada benda-benda padat. Begitupula halnya bagian terbesar dari kejadian ini. Dan kami paparkan panjang lebar masalah ini, karena dua hal:


a. Orang-orang zindiq masa kini yang mengingkari keberadaan (wujud) Allah Yang Maha Pencipta, juga mengingkari semua perkara ghaib yang dibawa oleh para Rasul dan Kitab-Kitab Samawi. Mereka menolak ilmu-ilmu itu kecuali yang dapat ditangkap oleh panca indera dan teori-teori dari percobaan mereka yang dangkal terhadap sebagian kejadian alam ini. Mereka mengingkari yang selain itu, yakni mengingkari semua yang tidak dapat dibuktikan secara eksperimental. Mereka menganggap bahwa alam ini dan gejala-gejala (hukum-hukum) alam yang ada di dalamnya, tidak mungkin dapat diubah atau mengubah suatu sebab. Menurut mereka juga, bahwa alam ini dengan semua perangkatnya terjadi secara tiba-tiba bukan karena adanya yang menciptakan. Alam ini berjalan dengan sendirinya, tidak ada Yang Mengatur, Pencipta atau Rabb (Pemilik atau Penguasa).


Padahal semua penganut agama yang ada mengakui betapa sombong dan angkuhnya mereka. Orang-orang zindiq (atheis) ini, di samping mengingkari ajaran agama, juga sesungguhnya telah kehilangan akalnya. Hal ini karena mereka telah menentang hakekat yang paling nyata dan jelas, bahkan bukti dan tanda kekuasaan Allah yang paling besar. Mereka tersesat dengan akal mereka yang sempit dan pemikiran mereka yang rusak. Urusan mereka sebetulnya sudah sangat jelas.


b. Sebagian ulama masa kini yang terlihat (seakan-akan) membela Islam, masuk bersama orang-orang zindiq ini dalam suatu perdebatan tentang masalah ini. Harapan mereka, bahwa dengan ijtihad atau ketertipuan mereka dapat menyesuaikan sunnah-sunnah ilahiyyah ke dalam permasalahan akhirat agar dapat dipahami manusia dengan panca indera dan teori-teori hasil eksperimen (percobaan) mereka. Melalui cara ini, mereka mencoba membelokkan pengertian mu’jizat, menolak ayat-ayat yang sangat jelas.


Namun mereka tidak mendapat manfaat sedikitpun kecuali mudharat yang akan menimpa diri mereka sendiri dan orang-orang yang membaca buku-buku mereka dalam masalah ini. Dan karena kelemahan iman mereka kepada Allah yang ditunjukkan dengan menolak adanya mu’jizat para Nabi ini, melalui tahrif yang membawa kepada keingkaran terhadap mu’jizat ini dan keingkaran bahwa semua itu adalah merupakan qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga karena lemahnya iman mereka yang membaca buku para tokoh filsafat (zindiq) ini, dan tidak adanya ilmu dan pengetahuan agama mereka untuk menolak bagian ini.


Dan ternyata mereka juga sama sekali tidak berhasil menarik orang-orang atheis materialis itu kembali kepada hidayah dan ajaran Islam. Bahkan semakin bertambah jauh mereka tenggelam dalam madzhab itu, ketika melihat orang-orang seperti itu berusaha memasukkan nash-nash (dalil dari ayat dan hadits) dan mu’jizat para Nabi ini ke dalam ilmu mereka yang dangkal yang hanya didasari hasil-hasil teori dan pengamatan panca indera.


Sungguh alangkah besarnya musibah ini, dan betapa kejinya kejahatan yang dihiasi. Akan tetapi memang, kelemahan ilmu serta kekaguman terhadap orang-orang zindiq atheis ini tentu akan mendorong seseorang untuk tunduk menerima ucapan-ucapan mereka. Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.


11. Pelajaran lain dari kisah ini, hukuman terbesar yang dialami seorang manusia adalah jika dia menjadi imam atau pemimpin suatu kejahatan dan juru dakwah yang mengajak kepada kejahatan tersebut. Sebagaimana dikatakan bahwa nikmat terbesar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada seorang manusia adalah menjadikannya sebagai imam atau pelopor (pemimpin) dalam kebaikan, sebagai pemberi petunjuk sekaligus terbimbing. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Fir’aun dan orang-orang yang seperti dia:


وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُوْنَ إِلَى النَّارِ
“Dan Kami jadikan mereka imam-imam yang mengajak kepada neraka.” (Al-Qashash: 41)


Untuk yang kedua, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُوْنَ بِأَمْرِنَا
“Dan Kami jadikan mereka sebagai imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.” (Al-Anbiya: 73)


12. Dalam kisah ini terdapat sisi pendalilan benarnya risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah menerangkan kisah ini atau yang lainnya secara terperinci, sesuai dengan kenyataan untuk menjadi suatu patokan yang sesuai. Suatu kisah yang membenarkan para Rasul, dan dukungan terhadap kebenaran yang nyata. Padahal beliau tidak menyaksikan sedikitpun kejadian itu, dan tidak pula mempelajarinya sedikitpun sehingga mengetahui kejadian tersebut secara terperinci. Bahkan beliau tidak pernah duduk dan menimba ilmu dari seorang ulamapun.


Semua ini tidak lain adalah risalah dari Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, wahyu yang diturunkan kepadanya oleh Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Pemberi anugerah agar beliau memberi peringatan kepada seluruh manusia dengan wahyu ini. Oleh karena itulah Allah menyebutkan pada bagian akhir kisah ini:


وَمَا كُنْتَ بِجَانِبِ الطُّوْرِ
“Dan tidaklah kamu berada di dekat gunung Thur.” (Al-Qashash: 46)


وَمَا كُنْتَ بِجَانِبِ الْغَرْبِيْ إِذْ قَضَيْنَا إِلَى مُوْسَى
“Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa.” (Al-Qashash: 44)


وَمَا كُنْتَ ثَاوِيًا فِيْ أَهْلِ مَدْيَنَ
“Dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Madyan.” (Al-Qashash: 45)


Semua ini adalah satu dari bukti-bukti kebenaran risalah beliau.


13. Sebagian ulama menyebutkan pelajaran dari jawaban Nabi Musa ketika ditanya tentang tongkatnya dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


وَمَا تِلْكَ بِيَمِيْنِكَ يَا مُوْسَى قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّؤُا عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي
“Dan apa yang di tangan kananmu itu, hai Musa? Berkata Musa:” Inilah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku…” (Thaha: 17-18)


Yaitu dianjurkan menggunakan tongkat karena ada manfaat tertentu dan untuk keperluan lain, seperti disebutkan dalam lanjutan ayat itu:


وَلِيَ فِيْهَا مَئَارِبُ أُخْرَى
“…dan bagiku ada lagi keperluan lain padanya.” (Thaha: 18)


14. Dari ayat-ayat ini dapat dipetik pelajaran adanya kasih sayang terhadap hewan ternak, berbuat kebaikan dan berusaha melepaskannya dari hal-hal yang menyusahkannya.


15. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي
“Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha: 14)


Ingatnya seorang hamba kepada Rabbnya itulah yang menjadi tujuan dia diciptakan dan di situlah kebaikan dan keberuntungannya. Tentunya tujuan menegakkan shalat itu adalah juga menegakkan tujuan utama ini. Kalau bukanlah karena shalat itu selalu berulang-ulang dikerjakan orang-orang mukmin dalam sehari semalam untuk mengingatkan mereka kepada Allah, di mana dalam shalat itu mereka terikat untuk selalu membaca Al Qur’an, memuji Allah, berdoa kepada-Nya, tunduk merendah kepada-Nya yang mana hal ini adalah ruh dari dzikir tersebut. Dan kalaulah bukan karena kenikmatan ini tentulah mereka termasuk orang-orang yang lalai.


Dzikir (mengingat Allah) itu adalah tujuan utama dari penciptaan makhluk. Dan seluruh peribadatan itu tidak lain adalah dzikrullah (mengingat Allah). Maka dzikir itu akan membantu seseorang melaksanakan ketaatan meskipun hal itu berat dirasakannya. Dzikir itu meringankan seseorang untuk menghadapi para penguasa yang sewenang-wenang, memudahkannya berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


كُيْ نُسَبِّحَكَ كَثِيْرًا وَنَذْكُرَكَ كَثِيْرًا
“Supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau.” (Thaha: 33-34)


اذْهَبْ أَنْتَ وَأَخُوْكَ بِآيَاتِي وَلاَ تَنِيَا فِيْ ذِكْرِى
“Pergilah engkau dan saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai mengingat-Ku.” (Thaha: 42)


16. Kebaikan Nabi Musa ‘alaihissalam terhadap saudaranya Nabi Harun ‘alaihissalam, karena beliau memohon kepada Allah agar Harun juga menjadi Nabi bersamanya. Beliau juga mengharapkan adanya bantuan dan pertolongan dalam kebaikan ketika berdoa:


وَاجْعَلْ لِي وَزِيْرًا مِنْ أَهْلِي هَارُوْنَ أَخِي اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي وَأَشْرِكْهٌ فِيْ أَمْرِي
“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.” (Thaha: 29-32)


17. Kefasihan dan keterangan yang jelas adalah hal-hal yang sangat membantu dalam memberikan pelajaran dan dakwah. Oleh sebab itulah Nabi Musa meminta agar Allah melepaskan kekakuan lidahnya supaya mereka mengerti perkataannya. Lidah yang celat (gagap) bukanlah suatu aib selama ucapan masih dapat dipahami. Dan salah satu adab Nabi Musa bersama Rabb-nya, beliau tidak meminta agar Allah menghilangkan secara keseluruhan celat dari lidahnya. Namun beliau hanya meminta agar dihilangkan apa-apa yang dengan hilangnya perkara tersebut tercapailah tujuan yang diinginkan.


18. Perlunya sikap dan kata-kata yang lemah lembut ketika berbicara dengan seorang raja, penguasa atau pemimpin dan mendakwahi atau menasehati mereka. Sehingga hal itu akan memberikan pemahaman kepada mereka tanpa harus menimbulkan keributan atau kekerasan. Dan ini sangat diperlukan dalam keadaan apapun juga. Akan tetapi sudah tentu hal ini sangat diperlukan dalam persoalan-persoalan penting seperti dakwah ini. Yaitu jika diperlukan dengan sikap ini tujuan yang diharapkan, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44)


19. Barangsiapa yang berada dalam taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, selalu memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakin dengan kebenaran janji Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala bersamanya sehingga tidak ada lagi kekhawatiran padanya, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (“Janganlah kamu berdua merasa takut”) diteruskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan:


إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
“Sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Thaha 45)


Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


إِذْ يَقُوْلُ لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللهَ مَعَنَا
“Di waktu dia berkata kepada temannya: ”Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” (At-Taubah: 40)


20. Sebab-sebab turunnya adzab Allah, adalah adanya dua keadaan ini:


إِنَّا قَدْ أُوحِيَ إِلَيْنَا أَنَّ الْعَذَابَ عَلَى مَنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى
“Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami, bahwa adzab itu akan ditimpakan atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.” (Thaha: 48)


Yaitu mendustakan semua berita yang datang dari Allah dan para Rasul-Nya; berpaling dari ketaatan terhadap Allah dan para Rasul-Nya. Dan sama seperti ini juga adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


لاَ يَصْلاَهَا إِلاَّ اْلأَشْقَى الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّى
“Tidak ada yang masuk ke dalamnya (an-naar) kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan dan berpaling.” (Al-Lail 15-16)


21. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82)


Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala mengungkapkan semua sebab atau jalan yang mendatangkan ampunan dari Allah, yaitu:


Yang pertama: At-Taubah (bertaubat), yakni rujuk dari segala perkara yang dibenci Allah lahir dan batin, kepada semua yang dicintai oleh Allah lahir dan batin. Dan taubat ini akan memutuskan dosa-dosa sebelumnya, besar maupun kecil.


Yang kedua: Al-Iman (beriman), yaitu pernyataan keyakinan dan pembenaran yang pasti yang meliputi semua yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang menumbuhkan amalan dalam hati. Kemudian diikuti dengan amalan yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tidak diragukan lagi bahwa apa yang di dalam hati, berupa keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari akhir (hari kiamat) merupakan landasan dan asas ketaatan yang paling utama.


Tidak disangsikan pula bahwa sesuai dengan tingkat kekuatan iman tersebut, dia akan menjauhkan keburukan-keburukan; menolak hal-hal yang belum terjadi sehingga menghalangi orang yang beriman itu agar tidak terjatuh pada keburukan itu. Iman itu juga akan menjauhkan apa yang sudah terjadi dengan mendatangkan perkara yang dapat menghapusnya dan tiak ada keinginan untuk terus-menerus melakukannya di dalam hati. Maka seorang mukmin yang didalam hatinya terdapat keimanan dan cahayanya, tidak akan mengumpulkan kemaksiatan.


Yang ketiga: Amal shalih, ini mencakup semua amalan hati, anggota badan dan perkataan. Dan kebaikan itu akan menghapus kejelekan.


Yang keempat: Terus-menerus di atas keimanan dan hidayah serta menambahnya. Maka barangsiapa yang menyempurnakan keempat sebab ini, hendaklah dia bergembira dengan maghfiratullah (ampunan Allah) yang menyeluruh. Oleh sebab inilah Allah menyebutkan sifat-Nya ini dalam bentuk mubalaghah (menunjukkan lebih):“dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun.”


Kami cukupkan sampai di sini kisah Nabi Musa ‘alaihissalam dengan pelajaran berharga yang termuat dalam kisah tersebut bagi mereka yang mau memperhatikan.


(Diterjemahkan dari Taisir Al-Lathifil Mannan, hal. 180-187, karya Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah)

Sumber : Asysyariah.com

7 Shafar 1429 H